Fatwa Ulama: Makna Umum Falu sebagai Bentuk Husnuzhan kepada Allah Taala
Fatwa Syaikh Muhammad Ali Farkus
Pertanyaan:
Syekh kami – semoga Allah menjaga Anda – apakah sabda Nabi ﷺ, “Aku menyukai begini”, termasuk sifat kemanusiaan beliau ataukah menunjukkan hukum syar’i? Seperti sabda beliau ﷺ,
لَا عَدْوَى وَلَا طِيَرَةَ، وَيُعْجِبُنِي الفَأْلُ
“Tidak ada ‘adwa (penyakit menular dengan sendirinya), tidak ada thiyarah (menganggap sial karena burung, dan lain-lain), dan aku menyukai fa’lu.”
Para sahabat bertanya, “Apa itu fa’lu?” Beliau menjawab,
الكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ
“Kalimat yang baik.” [1]
Dalam hadis tersebut, “al-kalimah ath-thayyibah” (kalimat yang baik) terdiri dari dua kata yang menggunakan alif lam (definitif), ini menunjukkan makna hashr (pembatasan). Apakah kita mengatakan bahwa fa’lu hanya terbatas pada kalimat yang baik, atau mencakup hal lainnya? Baarakallah fiik.
Jawaban:
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasul yang diutus sebagai rahmat bagi seluruh alam, kepada keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’du:
Makna “yu’jibuni” (aku menyukai) dalam hadis menunjukkan bahwa Nabi ﷺ senang dengan fa’lu karena ia merupakan bentuk pengharapan kebaikan. Mengharapkan kebaikan adalah sesuatu yang dianjurkan, sebab thiyarah (merasa sial) termasuk su’uzhan (berburuk sangka) kepada Allah, sedangkan fa’lu adalah husnuzhan (berbaik sangka) kepada-Nya.
Nabi ﷺ telah menjelaskan tabiat kemanusiaannya dan kecenderungan fitrah manusia yang menyukai hal-hal yang sesuai dengannya, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim rahimahullah. [2] Contohnya, kecintaan beliau ﷺ terhadap makanan manis dan madu [3], sebagaimana dalam sabdanya,
حُبِّبَ إِلَيَّ مِنْ دُنْيَاكُمْ
“Dijadikan sesuatu yang aku cintai dari dunia kalian…” (seperti wanita dan wewangian) [4]
serta kegemaran beliau terhadap suara indah dalam bacaan Al-Qur’an dan azan. Singkatnya, beliau mencintai segala kesempurnaan, kebaikan, dan hal yang mengantarkan kepadanya.
Adapun pembatasan (hasr) yang diungkapkan ulama ushul dengan bentuk definitif pada kedua bagian – seperti dalam hadis,
تَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ، وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ
“Yang mengharamkannya (salat) adalah takbir, dan yang menghalalkannya (keluar dari salat) adalah salam.” [5]
Maka hasr dalam konteks ini berlaku pada berita (khabar). Maksudnya, tidak boleh masuk (memulai) salat kecuali dengan takbir, dan tidak boleh keluar darinya kecuali dengan salam. Ini pendapat mayoritas ulama, berbeda dengan Hanafiyah dan Zhahiriyah.
Kaidahnya: Gaya bahasa seperti ini menunjukkan pembatasan selama tidak ada dalil yang menolaknya. Jika ada dalil lain, maka (dalil lain tersebut) didahulukan. Namun, zahir hadis menunjukkan keumuman fa’lu yang mencakup segala kata (kondisi) yang mengarah pada kebaikan. Fa’lu tidak terbatas pada “kalimat baik”, tetapi mencakup segala hal yang menyenangkan hati dan memberi harapan baik, baik berupa:
- Kalimat thayyibah;
- Nama yang baik;
- Bertemu orang saleh;
- Tempat baik yang dilalui.
Semua ini termasuk husnuzhan kepada Allah Ta’ala. Inilah alasan Nabi ﷺ menyukai fa’lu, karena ia bagian dari berbaik sangka kepada-Nya.
Bukti bahwa fa’lu tidak terbatas pada “kalimat baik”:
Ketika Suhail bin ‘Amr datang dalam peristiwa Hudaibiyah untuk berunding dengan Rasulullah ﷺ, beliau bersabda,
سُهِّلَ لَكُمْ مِنْ أَمْرِكُمْ
“Urusan kalian dipermudah” (karena nama “Suhail” berarti “mudah”).” [6]
Ternyata, harapan itu terwujud dengan datangnya kebaikan (perdamaian Hudaibiyah).
Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat.
Baca juga: Berprasangka Baik kepada Allah
***
Penulis: Fauzan Hidayat
Artikel Muslim.or.id
Sumber: https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-206
Catatan kaki:
[1] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Ath-Thibb, bab La ‘Adwa (no. 5776), dan Muslim dalam kitab As-Salam (no. 2224), dari hadis Anas radhiyallahu ‘anhu.
[2] Miftah Dar as-Sa’adah, karya Ibnul Qayyim (3: 306).
[3] Lihat hadis yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Al-Ath’imah, bab Al-Halwa’ wal ‘Asal (no. 5431), dan Muslim dalam kitab Ath-Thalaq (no. 1474), dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha.
[4] Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam kitab ‘Isyratun Nisa’, bab Hubbun Nisa’ (no. 3939), dan Al-Baihaqi – dengan lafaz miliknya – (no. 13454), dari hadis Anas radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 3124).
[5] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab Ath-Thaharah, bab Fardhu Al-Wudhu (no. 61), At-Tirmidzi dalam kitab Ath-Thaharah, bab Ma Ja’a Anna Miftaha Ash-Shalati Ath-Thuhur (no. 3), dan Ibnu Majah dalam kitab Ath-Thaharah wa Sunanuha, bab Miftahu Ash-Shalati Ath-Thuhur (no. 275), dari hadis Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu. Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ (no. 5885).
[6] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Asy-Syuruth (Perjanjian), bab Asy-Syuruth fi Al-Jihad wal Mushalahah ma’a Ahli Al-Harb wa Kitabati Asy-Syuruth (Syarat-syarat dalam jihad, perdamaian dengan musuh, dan penulisan perjanjian) (no. 2731), dari hadis Al-Miswar bin Makhramah dan Marwan bin Al-Hakam radhiyallahu ‘anhuma.
Artikel asli: https://muslim.or.id/106463-fatwa-ulama-makna-umum-falu-sebagai-bentuk-husnuzhan-kepada-allah-taala.html